Celoteh minoritis indie, marjinal yang merdeka.!! Feodal Songong.!!

“Bebas” dan “Merdeka” itu saudara kembar. Tapi saya lebih suka yang terakhir kata “merdeka”. Rasanya lebih kaya. Juga kalau dibanding dengan padanannya dalam bahasa Inggris, “ free” atau “ liberal ”. Sebenarnya saya kasihan dengan kata “ liberal ”, yang sering diperlakukan tidak adil di Indonesia. Untuk beberapa kalangan kata ini sepertinya masuk golongan paria. Kasihan deh.

Saya agak kurang sreg dengan kata “bebas” karena kata bebas sudah dipoligami dengan tidak senonoh oleh orde baru sampai kehilangan identitas dan harus hidup satu atap dengan madunya “tanggungjawab”, “kebebasan yang bertanggungjawab”, mirip istri tua dan istri muda yang tak rukun. Ya ada rukunnya, kadang. Tapi masalahnya, siapa yang menentukan ukuran tanggungjawab itu? Bos di kantor. Guru di sekolah. Orangtua di rumah. Penguasa. Politikus. Ketua Partai. Ketua Forum. Ketua Dewan. Massa yang mengamuk ? Istilah “bebas yang bertanggungjawab” itu rawan dimanipulasi oleh mereka yang syahwat kekuasaannya over dosis.

(Intermezzo: tahukah Anda kata Indonesia yang diserap dalam bahasa Inggris? Yang saya tahu ada 4: “ sarong”, “ orangutan ”, “ sate ” dan “ amok ”. Kalau dijadikan satu, jadilah gambaran sinis tentang masyarakat Indonesia yang suka muncul di berita-berita asing: orang utan yang sudah pakai sarung, suka mengamuk dan menyate! )
Nah, kata “merdeka” rasanya masih lebih aman, setidaknya sampai sekarang. Silakan tempelkan kata itu ditempat dia suka. Berpikir merdeka. Bertindak merdeka. Menulis merdeka. Dan seterusnya, silakan merdeka dalam menggunakan kata merdeka, semerdeka-merdekanyalah.
Merdeka tentu tidak sama dengan berbuat semaunya. Mau terbang. Emang bisa? Jelas gak bisa.

Buat saya, merdeka itu artinya bukan itu. Saya punya pikiran, punya tubuh, punya masa lalu-kini-nanti. Betul, semua itu terbatas. Tapi dimana batasnya? Saya tidak pernah tahu batasnya. Hanya kalau saya melakukan eksplorasi, menyelami rahasia-rahasianya, saya mungkin ketemu batasnya. Tapi sampai sekarang saya belum sampai tuh ke perbatasan kemanusiaan saya. Saya percaya Tuhan Serba Maha. Dan saya ingin mengenalNya dengan cara mengeksplorasi apa yang sudah diberikan. Saya tidak sedang menantangNya. Saya sedang bersyukur, mengagumiNya kok dengan melakukan wisata ekplorasi ini.

Bagi saya merdeka, berarti mengeksplorasi pikiran, bakat, tubuh, hati, alam sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya. Saya mau pergi sampai keperbatasan saya. Itulah merdeka. Dengan semangat seperti itu, saya membaca semua teks-teks suci maupun tidak suci, surfing semua web yang senonoh maupun tidak senonoh, bertemu dengan tokoh besar atau kecil, yang buat saya semuanya besar dan memperkaya saya. Pokoknya siapa saja, termasuk membuka blog anda para bloggers yang suka kasih komentar maupun tidak. Anda tahu saya suka menjenguk dan memberi salam di blog Anda.

Ketika saya memilih menjadi merdeka itulah saya bisa bertemu dengan banyak pemikiran, keahlian dan permenungan yang justru memperkaya saya. Saya, anda, kita, memang terbatas. Tetapi ternyata batas saya terus diperluas, diperlebar, dan diperdalam, ketika saya mau menjadi merdeka. Lalu, apalagi akhirnya, kalau bukan saya malah tambah kagum dan hormat padaNya dan pada anda semua yang terus memperkaya kemanusian saya? So, mari berpikir merdeka, bertindak merdeka dan menulis merdeka.

Ada yang gak setuju? Terserah lah kalau masih juga ada yang mau mengharamkan. Tapi kalau tidak boleh pakai kata merdeka, emang kita mau dijajah Belanda lagi?

Penulis: Senja Kelana

Seorang pria yang menyukai senja, tak terikat, bebas terkendali, dan menghargai perbedaan.

4 tanggapan untuk “Celoteh minoritis indie, marjinal yang merdeka.!! Feodal Songong.!!”

Tinggalkan komentar